Jumat, 01 Juni 2012

KETAHANAN NASIONAL ENERGI KITA

Ketahanan nasional energi kita saat ini sedang mengalami masalah yang cukup rumit, permasalahan muncul akibat melonjaknya harga minyak mentah dunia yang menembus angka $119,83/barel, permasalahan lain pun muncul akibat Pemerintah RI yang terlambat menaikan harga subsidi bbm jenis Premium menjadi Rp.6000/liter. hal tersebut dikarenakan keterlambatan pengesahan RUU pasal 7 ayat 6 nomor 4a tentang kebijakan pemerintah untuk menaikan harga bbm, hal itu pun berimbas kepada naiknya anggaran APBN pemerintah untuk menutupi kekurangan harga pembelian harga minyak mentah dunia.



Secara sistematis Sistem Nasional Ketahanan Energi memang sangat penting bagi sebuah negara seperti Indonesia. Selain sebagai kemampuan merespon dinamika perubahan energi global (eksternal) juga sebagai kemandirian untuk menjamin ketersediaan energi (internal). Sistem Ketahanan Energi mengacu pada Kebijakan Pengembangan Energi sesuai Undang-Undang Energi Nomor 30 Tahun 2007, yaitu energi memiliki peran bagi peningkatan Kegiatan Ekonomi dan Ketahanan Nasional.
Pemerintah telah mengubah paradigma kebijakan dari Suplly Side Policy (SSP) menjadi Demand Side Policy (DSP). Sistem Ketahanan Energi dibangun oleh SSP dan DSP. SSP mengatur Jaminan Pasokan dalam bentuk Eksplorasi-Produksi dan Konservasi (Optimasi) Produksi. Sedang DSP mendorong Kesadaran Masyarakat untuk melakukan Diversifikasi dan Konservasi (Efisiensi).

Pengubahan paradigma tersebut justru sangat baik untuk negara kita, setidaknya pemerintah tidak tinggal diam dalam mengatasi ketahanan nasional energi negara Indonesia yang sedang melemah, karena paradigma tersebut membuat pemerintah kita berfikir untuk terus membenahi masalah terutama pada masalah minyak mentah dunia.

KOMENTAR TENTANG PASAL 7 AYAT 6 DAN NOMER4A

Pada dasarnya pasal 7 ayat 6a adalah pasal yang berisi tentang kewenangan pemerintah dalam menaikan harga BBM bersyarat, namun banyak pihak yang menyatakan bahwa pasal 7 ayat 6a adalah pasal yang menipu rakyat Indonesia pasalnya dengan adanya penambahan ayat tersebut, DPR sama saja akan menyetujui rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

Benny K Harman selaku Ketua Komisi III DPR dari Partai Demokrat, mengatakan Pasal 7 ayat 6 Undang-undang APBN Perubahan 2012 tentang larangan kenaikan harga BBM bersubsidi tak berlaku dengan sendirinya setelah berlakunya Pasal 7 ayat 6a tentang kewenangan pemerintah menaikkan harga BBM bersyarat UU yang sama.

Menurut Benny, keberadaan Pasal 7 ayat 6 UU APBN 2012 telah menyandera hak Presiden untuk menaikkan harga BBM selama 2012. Ia mengakui Partai Demokrat ingin menghapus ayat itu. Namun, mendapat penolakan dari fraksi parpol oposisi, yakni PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura, pada saat pembahasan.

Saya pribadi tidak setuju dengan adanya pasal 7 ayat 6a karena pasal ini akan menimbulkan keputusan sebelah pihak yang dimana DPR akan setuju dengan keputusan pemerintah dalam menaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). ini kan negara demokrasi, jadi setiap warga negara mempunyai hak untuk menolak atau menerima keputusan dari pemerintah, kalau memang banyak yang tidak setuju ya jangan disahkan, kalau disahkan berarti pemeritah bertindak diskriminasi terhadap rakyatnya. namun sebaiknya sebelum pemerintah mengeluarkan peraturan ada baiknya disosialisasikan terlebih dahulu oleh rakyat, wakil rakyat atau instansi-instansi rakyat lainnya agar tidak ada kontra yang terlalu besar di masyarakat.

TENTANG KENAIKAN HARGA BBM BERSUBSIDI

PEMERINTAH  merencanakan kenaikan harga jual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tahun 2013 sebagai bagian pengendalian konsumsi komoditas tersebut.

Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita Legowo saat rapat dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Kamis (31/5), mengatakan, pihaknya mengusulkan kuota volume BBM bersubsidi dalam RAPBN 2013 berkisar antara 45 juta kiloliter hingga 48 juta kiloliter.

"Perkiraan 45 juta kiloliter dengan asumsi program penghematan BBM terus berlanjut dan ada penyesuaian harga jual BBM bersubsidi," ujarnya.

Namun, ia tidak menyebutkan besaran kenaikan harga BBM bersubsidi yang direncanakan. Sedangkan volume BBM bersubsidi tahun 2013 dapat mencapai 48 juta kiloliter, apabila program penghematan dan penyesuaian harga BBM tidak dapat dilaksanakan tahun 2013.

Proyeksi tersebut, lanjutnya, dengan asumsi realisasi volume BBM pada 2012 mencapai 44 juta kiloliter dengan pertumbuhan sembilan persen.

Ia mengatakan, perkiraan kuota BBM bersubsidi sebesar 45 juta kiloliter terdiri dari premium 28,7 juta kiloliter, minyak tanah 1,3 juta kiloliter, dan solar 15 juta kiloliter.

Sementara, perkiraan kuota BBM sebesar 48 juta kiloliter terdiri dari premium 30 juta kiloliter, minyak tanah 1,3 juta kiloliter, serta solar 16,7 juta kiloliter.

Realisasi konsumsi BBM bersubsidi sampai 28 Mei 2012 sudah 17,52 juta kiloliter atau 108 persen lebih tinggi dari kuota berjalan.

Evita menambahkan, harga rata-rata minyak mentah Indonesia periode Desember 2011 sampai Mei 2012 belum melewati syarat kenaikan harga BBM bersubsidi.

Dalam enam bulan terakhir sampai 28 Mei 2012, ICP masih 119,35 dolar AS per barel atau masih di bawah 120,75 dolar AS per barel. Harga minyak cenderung menurun sehingga syarat kenaikan harga BBM bersubsidi belum terpenuhi.

Ia mengatakan, pada triwulan I-2012, harga minyak memang cenderung tinggi akibat memburuknya geopolitik di Timur Tengah dan belum pulihnya krisis utang dan finansial di Eropa dan Amerika.

Namun, triwulan kedua, harga minyak cenderung turun sebagai akibat mulai meredanya ketegangan di Timur Tengah dan membaiknya perekonomian Amerika. "Harga minyak dunia jenis WTI (West Texas Intermediate) hari ini (Kamis, 31/5, Red) bahkan turun 4,3 dolar per barel," papar Evita.

Pasal 7 Ayat 6A UU APBN Perubahan 2012 menyebutkan, "Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam 6 bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN Perubahan Tahun Anggaran 2012, maka pemerintah berwenang menyesuaikan harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya."

APBN Perubahan 2012 menetapkan ICP sebesar 105 dolar per barel, sehingga syarat minimal 15 persen rata-rata enam bulan adalah 120,75 dolar AS per barel.

Pada periode enam bulan sebelumnya (1 November 2011-30 April 2012), rata-rata ICP adalah 13,4 persen di atas asumsi 105 dolar per barel atau belum melewati 15 persen.

Rinciannya, November 2011 sebesar 112,94 dolar per barel, Desember 110,70 dolar, Januari 2012 sebesar 115,90 dolar, Februari 122,17 dolar, Maret 128,14 dolar, dan April 124,63 dolar AS.

ICP terkorelasi langsung dengan pergerakan harga minyak dunia. Patokan ICP memakai formula 50 persen Platts dan 50 persen RIM. Platts dan RIM merupakan dua institusi global yang mempublikasikan perkembangan harga minyak dunia setiap saat.